Duduk di teras tanpa meja juga kursi, di lantai tanpa alas, karena memang sederhana seperti itulah kehidupan kami, hanya ditemani segelas kopi dan sepiring kolak (ala selat duda) buatan memek, yang di buat dari bahan yang kebanyakan di dapat dari kebun, sambil memandangi sekitaran, meski hujan tiada henti dan kabut tebal menyelimuti perbukitan, membatasi jarak pandang hanya beberapa langkah saja, ditambah angin bertiup sangat dingin menusuk terasa hingga ke tulang, namun tak menyurutkan keinginan untuk pulang, sebab kata pulang itu seperti kata lain dari sebuah kerinduan pada orang tua dan rasa yang tak tergantikan dengan kata2.
Setiap mengucapkan kata pulang, seperti mengingatkan sebuah rasa yang selalu ada, rasa rindu pada ketenangan diantara kicau burung yang bersahutan di dahan, atau kokok ayam jago dan gemerisik dedaunan tertiup angin. Rasa rindu pada aroma tanah yang tersiram hujan. Rasa rindu kepada kesejukan, yang datang dari hijau dedaunan yang di bawa angin laut yang datang dengan menyusuri lembah dan mendaki perbukitan, hingga semua menjadi satu disini, mengisi ruang dan menyatu dalam rasa, harmonis dan selaras dalam sebuah penerimaan tanpa syarat.
#theoryomongkosongku